LINTASRAYA.COM, BALIKPAPAN – Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, dan Keluarga Berencana (DP3AKB) Kota Balikpapan terus meningkatkan upaya sosialisasi untuk mencegah pernikahan usia anak, mengingat bahaya yang ditimbulkan baik dari segi kesehatan maupun psikologis.
Langkah ini dianggap sangat penting untuk memberikan pemahaman kepada masyarakat, khususnya remaja, mengenai risiko yang harus dihadapi jika menikah pada usia yang terlalu muda.
Kepala DP3AKB Balikpapan, Heria Prisni, menekankan bahwa pencegahan pernikahan usia anak merupakan bagian dari strategi besar untuk mewujudkan Indonesia Emas 2045, sebuah visi yang berfokus pada pembangunan manusia yang holistik dan berkeadilan gender. “Anak-anak adalah aset bangsa. Untuk mencapai visi Indonesia Emas 2045, kita harus memastikan bahwa hak-hak anak terpenuhi dan mereka tumbuh dalam lingkungan yang mendukung perkembangan optimal,” ujar Heria saat ditemui pada Selasa (13/8/2024).
Heria juga menyoroti peran penting keluarga dalam mendukung upaya ini. Menurutnya, keluarga yang berkualitas merupakan fondasi utama dalam membentuk bangsa yang maju, makmur, modern, dan beradab. “Keluarga memiliki tanggung jawab besar dalam menjaga dan mengarahkan anak-anak mereka agar tidak terjebak dalam pernikahan usia dini yang bisa merugikan masa depan mereka,” tambahnya.
Dalam konteks hukum, Heria mengingatkan tentang Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019, yang merupakan revisi dari UU Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974. Undang-undang ini menetapkan usia minimal untuk menikah bagi laki-laki dan perempuan adalah 19 tahun. Peraturan ini diberlakukan untuk mengurangi angka pernikahan dini yang sering kali mengakibatkan masalah serius dalam rumah tangga, serta untuk memastikan kualitas generasi yang lebih baik di masa depan.
Heria menjelaskan bahwa secara kesehatan, anak perempuan yang menikah di usia dini memiliki risiko tinggi mengalami komplikasi saat hamil dan melahirkan, karena organ reproduksi mereka belum matang sepenuhnya. Kondisi ini tidak hanya meningkatkan risiko kematian ibu dan bayi, tetapi juga dapat berdampak pada kesehatan jangka panjang sang ibu.
Dari sisi psikologis, pernikahan usia anak sering kali menimbulkan tekanan mental yang berat. Anak-anak yang menikah dini cenderung belum siap secara emosional untuk menghadapi tanggung jawab besar sebagai istri, suami, atau orang tua. “Hal ini bisa memicu konflik dalam rumah tangga, yang pada gilirannya dapat berujung pada kekerasan, perceraian, dan masalah sosial lainnya,” jelas Heria.
Melalui sosialisasi yang terus digencarkan oleh DP3AKB Balikpapan, diharapkan masyarakat, terutama para remaja, semakin sadar akan pentingnya menunda pernikahan hingga mereka siap secara fisik, mental, dan emosional. Heria optimistis bahwa dengan upaya bersama, pernikahan usia anak dapat diminimalisir, dan masa depan anak-anak Indonesia dapat lebih terjamin.(*/ADV/San)















