LINTASRAYA.COM, BALIKPAPAN – Jaringan Media Siber Indonesia (JMSI) Cabang Balikpapan, prihatin atas situasi yang dialami media termasuk para jurnalis dalam kurun beberapa hari terakhir.
Ketua JMSI Balikpapan David Purba mencermati, eskalasi aksi demonstrasi yang terjadi di Jakarta, hingga ke berbagai daerah lainnya, menunjukan kegagapan Pemerintah, DPR, hingga aparatur keamanan dalam menangani persoalan.
Sehingga, gelombang aksi kekerasan sebagai buntut dari kondisi tersebut turut mencederai kebebasan pers. Mulai dari adanya kekerasan hibgga intimidasi terhadap jurnalis yang melaksanakan tugasnya untuk publik.
“Dalam kurun satu pekan terakhir, JMSI mengamati banyaknya laporan kekerasan terhadap jurnalis saat meliput aksi unjuk rasa di gedung DPR RI Senayan dan Markas Komando Brimob, Kwitang, Jakarta,” ungkapnya.
Ia menjelaskan, beberapa diantaranya, yang menjadi korban, Jurnalis foto Antara, Bayu Pratama S mengalami kekerasan ketika meliput demonstrasi di gedung DPR Senayan, Jakarta, pada Senin 25 Agustus 2025. Kemudian, jurnalis foto dari Tempo dan Antara dipukul orang tidak dikenal saat meliput demonstrasi di sekitar Mako Brimob Kwitang, Jakarta Pusat, pada Kamis malam, 28 Agustus 2025.
Pada hari yang sama, Jurnalis Jurnas.com mengalami intimidasi saat merekam aksi demonstrasi yang ricuh di Gedung DPR RI Senayan. Lanjut pada Sabtu malam, 30 Agustus 2025, dua jurnalis Tribun Jambi terperangkap di gedung Kejati saat memantau kerusuhan aksi massa yang melakukan demonstrasi di gedung DPRD Provinsi Jambi. Dini harinya, mobil operasional Tribun News yang diparkir di Kejaksaan Tinggi Jambi, dibakar massa.
Kemudian, pada Minggu dini hari 31 Agustus 2025, Jurnalis TV One ditangkap, dipukul serta mengalami intimidasi saat melakukan siaran langsung melalui akun media sosialnya. Jurnalis pers mahasiswa disiram air keras saat meliput di Polda Metro Jaya.
Respon masyarakat atas kebijakan yang ugal-ugalan itu, bahkan memicu pembungkaman kebebasan pers. Media diimbau untuk tidak melakukan live streaming peristiwa unjuk rasa.
“Imbauan ini tentunya menghambat kebebasan pers atau kemerdekaan media dalam menyampaikan informasi kepada publik. Padahal mestinya media bekerja tanpa tekanan dari pihak manapun agar demokrasi dan kebebasan berekspresi tetap terjaga,” tambahnya.
Termasuk membendung informasi di media sosial yang kebenarannya meragukan dan dikhawatirkan menyesatkan masyarakat. Pelarangan dan pembatasan ini menunjukan tindak intervensi pada pers yang seharusnya memberikan informasi sebenar-benarnya pada masyarakat.
“Menyikapi rentetan persoalan ini, JMSI Balikpapan mengecam segala bentuk kekerasan dan intimidasi terhadap jurnalis. Aparatur penegak hukum harus mengusut tuntas tindakan pelanggaran HAM yang terjadi sepanjang kondisi tersebut. Menangkap dan mengadili pelaku, termasuk aparat yang terlibat dalam kekerasan terhadap jurnalis,” tegas David.
JMSI turut mengecam upaya pembungkaman yang dilakukan untuk membatasi kerja jurnalis dan media. Mengingatkan kepada semua pihak untuk menghormati kerja pers dengan tidak menghalangi jurnalis dalam memberitakan informasi aksi demonstrasi kepada publik. Termasuk aparat keamanan bahwa kerja-kerja jurnalis dilindungi oleh Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Dengan demikian, segala bentuk kekerasan terhadap pers adalah pelanggaran hukum dan demokrasi.(*/wan)